Monday, April 3, 2017

Retorika

Retorika Sebagai Ilmu

Kamus Besar Bahasa indonesia menyebutkan bahwa retorika dalam arti sempit diartikan sebagai, (1) studi tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang mengarang, dan (2) seni berpidato yang muluk-muluk. Pengertian ini tentu dalam suatu rumusan pragmatik dan belum sepenuhnya mencakup pengertian dasar yang berkembang di khasanah retorika Indonesia. Seringkali pengertian retorika tidak bisa dilepaskan dari pengertian persuasi dan seringkali dianggap sama saja dengan gaya bahasa. Oleh sebab itu dalam kajian ini diperlukan pemaparan pengertian dasar retorika.

Dari berbagai cabang ilmu yang menggarap kegiatan bertutur dan berbahasa, ada beberapa diantaranya yang dekat sekali gejalanya dengan retorik. Cabang ilmu adalah logika, tatabahasa dan sastra (Oka dan Basuki, 19990:53). Wilayah kajian retorika seringkali dikaburkan dengan masalah-masalah logika, tatabahasa dan satra. Batas-batas ketiga ilmu tersebut seringkali bersinggungan dengan kajian retorika, bahkan bisa pada unsur yang sama. Misalnya dalam Retorika, juga menempatkan analogi (logika), struktur dan makna kalimat (tatabahasa) dan diksi (sastra) sebagai unsur karakteristik retorika. Keterkaitan semacam ini sebagaimana dikatakan oleh Roland Barthes bahwa Rhetoric must always be read in its structural interplay with its neighbors, grammar, logic, poetics and philodopy  (Parelman, 1982:1). Meskipun demikian keberadaan retorika sebagai ilmu di tandai oleh seperangkat ciri. Perangkat ciri ini bukan saja berfungsi sebagai penanda, melainkan juga sebagai pembedadari ilmu-ilmu yang lain (Oka dan Basuki, 1999:41).

Golden, dkk (1983:13) menjelaskan bahwa retorika adalah studi tentang bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk membuat pilihan secara bebas. Retorika dipandang sebagai studi yang tertua dan paling sentral dalam berbagai studi kemanusiaan. Brooks dan Warren (1970:6) menjelaskan bahwa retorika adalah seni penggunaan bahasa secara efektif. Oleh sebab itu, pada awalnya retorika memang diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik (kunts, gut zu reden atatu ars bene dicend), yang dapat dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars tecne) (Hendrikus, 1991:14). Namun sebagai suatu ilmu, retorika ditandai oelh seperangkat ciri yang merupakan karakteristik keilmuannya. Seperangkat yang dimaksud meliputi:
1)    Paradigma yang mencakup perspektif teori secara umum dan model berpikir terhadap fenomenanya.
2)    Metode dan instrumen yang dipergunkan.
3)    Jangkauan permasalahannya (khun dalam Andersen, 198;155; Oka dan Basuki, 1990:41-62).

Dalam kaitanya retorika dengan ciri empirik, maka retorika sebagai ilmu juga berfungsi untuk menjelaskan berbagaia fenomena kegiatan berbahasa yang dapat diamati (Kerlinger, 1973:7). Dalam kaitannya dengan fungsi ini, Kerlinger (1973:7) menejlaskan bahwa penekanannya pada Rhe present state of knowledge and adding to it, on the extent of knowledge and on the present set a laws, theories, hypotheses, and principles. Penekanan semacam ini oleh Sax (1979:12) disebut theory construction. Adapun Kerlinger (1973:8) menyebutkan sebagai The basic aim of science is theory. Dalam penelitian ilmiah dapat di jelaskan bahwa A theory is set of principles, defenition, postulates and fact organized so as to explain the interrelationship among variable, (Sax, 1979:12) hakikat suatu teori  ternyata pada bagaimana prinsip, defenisi, postulat, dan fakta yang teroganisasi mampu menjelakan hubungan antar variabel. 

Berdasarkan pengertian tentang teori tersebut, makan terdapat tiga pemikiran (Kerlinger, 1973:9) yang dapat diterapakan terhadap Retorika. Perkembangan konsep retorika tampaknya tidak bisa terlepas dari konsepsi retorika ilmu, sebagai salah satu kebenaran ilmiah yang dapat diuji dan dibuktikan. Dan berbagai prinsip yang ada dalam retorika. Pertama, dapat dikatakan bahwa retorika adalah disiplin kemanusiaan yang didasarkan pada pilihan dan terutama  didesain untuk mempengaruji orang lain. Kedua, reorika adalah proses yang dinamis, yang berkembang dan terikat oleh budaya dengan berbagai disiplin secara ilmiah (Golden dkk, 1983:4). Sebagai ilmu yang tumbuh dan berkembang, “ilmu retorika mempunyai hubungan yang erat dengan dialektika yang sudah dikemabngkan sejak zaman Yunani kuno” (Hendrikus, 1991:15).

Dalam kaitannya dengan konsep retorika sebagai ilmu, maka akumulasi berbagai prinsip yang berkembang perlu dipetengahkan. Pengertian retorika dewasa ini telah mencakup semua pengertian yang pernah ada sebagai berikut:
a.    Prinsip-prinsip mengenai komposisi pidato yang persuasif dan efektif , maupun keterampilan yang harus dimiliki seorang orator (ahli pidato).
b.    Prinsip-prinsip mengenai mengenai prosa pada umumnya, baik yang dimaksudkan untuk penyajian lisan maupun untuk penyajian tertulis, entah yang bersifat fiktif atau yang bersifat ilmiah.
c.    Kumpulan ajaran teoritis mengenai seni komposisi verbal, baik prosa maupun puisi, beserta upaya-upaya yang digunakan dalam kedua jenis komposisi verbal tersebut.

Perkembangan retorika sebagai ilmu pada dasarnya telah mencakup semua prinsip: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Sebagai lapangan kajian yang dinamis, berbagai prinsip yang ada dalam retorika mungkin akan bergeser sesuai dengan kecenderungan secara ilmiah. Perkembangan bisa mengarah kepada perubahab objek, paradigma, metodologi, dan tujuannya.

1.Retorika dan Ilmu Bahasa

Sebelum sampai pada era retorika modern, pernah muncuk suatu anggpan dan mitos bahwa “rhetoric, it is argued, deal with ornamental language rather than with substantive ideas” (Golden, dkk, 1983:2). Anggapan semacam ini begitu diyakini abad pertengahan di Jerman sebagaimana dikemukakan oleh Erost Robert Curtius bahwa retorika diasosiasikan dengan bahasa yang berbunga-bunga, cita rasa verbal dan ungkapan yang bombastis saja (Golden, dkk, 1983:2; Syafie, 1988:3). Dalam sejarah perkembangan studi tutor dan bahasa pernah muncul suatu anggapan bahwa retorika adalah bagian dari tatabahasa (Oka dan Basuki, 1990:65). 

Pada umumnya orang beranggapan bahwa “Retorika adalah suatu istilah yang secara tradisional diberikan pada suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik (Keraf, 1983:1). Berkembangnya anggapan semacam ini menuntut perlunya perbedaan yang tegas antara retorika dengan ilmu bahasa atau tatabahasa. Kalau mau berbicara benar, retorika bukanlah bagian dari tatabahasa dan juga bukan alat dan tatabahasa (oka, 1976:74; Oka dan Basuki, 1990:66). Sebagai ilmu, keduanya secara prinsip bereda, baik materi kajian merupakan kaidahnya. Meskipun demikian karena keduanya berurusan dengan bahasa, maka batas kajiannya sering kali dikacaukan, sebagaimana pengertian retorika pada umumnya, maka terdapat “dua aspek yang perlu diketahui seseorang dalam retorika, yaitu pengetahuan mengenai objek tertentu yang akan disampaikan dengan bahasa tadi” (Keraf, 1985:1). Oleh sebab itu, “Retorika selalu menganjurkan penutur untuk memilih materi bahasa yang tepat, menatanya menjadi kalimat-kalimat yang retorika dan menampilkannya dengan gaya tutur yang meyakinkan” (Oka, 1976:75).

Adapun ilmu bahasa atau yang disebut dengan istilah lingiustik, sebagaimana dikemukakan oleh Lado bahwa “Linguistics is the science that describe and classifies languages”. Dalam pengertian ini dapat dijelaskan bahwa “Linguistic description are divided into phonology for the sound, morphology for the patterns and part of word, and syntax for pattern of phrases and sentence” (Lado, 1964:19). Meskipun demikian “Lingistik mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu-ilmu lain yang kadang-kadang meminjam data dan memasok data” (Saussure, 1988:70-71) oleh sebab itu, batas-batas yang memisahkan linguistik dari ilmu lain, misalnya terjadi pada kajian linguistik dengan sastra atau dengan retorika, Robins (1992:5;4) menjelaskan bahwa “sebagai kajian ilmiah tentang bahasa, linguistik harus mencakup semua aspek dan pemakaian bahasa dan semua gaya”. Meskipun demikian apa yang dikerjakan oleh para linguis adalah mengobservasi ujaran, mendeskripsi, mengkalsifikasikan dan menyajikan strukturnya secara lengkap, akurat dan seekonomis mungkin. Sebagaimana para ilmuwan yang lain, Lado (1964:19) menjelaskan bahwa “”linguists have evoleved their own scienticic procedures and technical terminology”. Oleh sebab itu, perbedaan linguistik dengan ilmu-ilmu yang lain termasuk dengan retorika terletak pada prosedur dan terminologi analisis, serta pada detail deskripsi sebagai unsur bahasanya.

Retorika sebagai ilmu yang bertujuan untuk mempersuasi pendengar atau pembaca tentu tidak berurusan secara berkecil-kecil dengan berbagai unsur yang dikaji dalam fonologi dan morfologi atau sintaksis dalam kaitannya dengan kaidah yang telah diberlakukan. Retorika akan berurusan dengan semua unsur bahasa dalam fungsinya sebagai unsur wacana. Perelman 91982:41) menjelaskan bahwa dalam sebuah wacana, semua unsur yang dirasakan oelh pembicara hanya dapat dijelaskan melalui bahasa yang harus dimengerti oleh pendengar/pembacanya. Kemudian jika kata-kata tidak bisa diandalkan untuk memahami pesan secara keseluruhan, maka kita harus melihat di luar kata-kata itu yakni dalam frasa, dalam konteks verbal atau nonverbal, pada apa yang dapat kita ketahui dari pembicara dan pendengarnya (Perelman, 1982:44). Cara kerja semacam ini hanya dilakukan dalam kajian Retorika dan tidak dilakukan dalam tatabahasa, unsur bahasa yang menajdi memang bisa saja sama, tetapi substansi dan terminologi teknis juga prosedurnya berbeda.

2.Retorik dan Ilmu-ilmu yang lain

Bertutur sebagai salah satu kegiatan yang fungsional dalam kehidupan manusia telah menjadi objek penelitian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada masa lampau kegiatan ini dipelajari oleh ilmu yang tergolong dalam kelompok ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, seperti misalnya Filsafat, Logika, Sosiologi, Antropoliti, Psikologi, Filologi. Ilmu sastra dan yang lainnya.

Dari berbagai cabang ilmu yang m,enggarap kegiatan bertutur dsan bahasa, ada beberapa diantaranya yang dekat sekali gejalanya den gan retorik. Cabang ilmu yan g dimaksud di sini ialah Logika, Tatabahasa dan sastra. Ketiga ilmu ini selain batas-batasnya sering dikaburkan dengan retorik.kerap  pula eksistensinyta dianggap sebagai induk retorik.

Retorik dan Logika

Dalam penemuan ulasan serta penggunaanya sebagai penopang gagasan, Retotik banyak sekali menyarankan agar penutur menggunakan kejernihan akal. Logika dan Retorik terdapat per5bedaan yang ensensial. Logika sebagai suatu ilmu pada dasarnya mengajarkan prinsip-prinsip dan metode-metode yang membuat orang mampu membedakan alasan-alasan yang benar dan sebaliknya. “The study of logic is the study of the methods and principles used in distinguisthing correct from incorrect reasining,” demikian kata Irving M. Copi dalam bukunya “Introduction to Logic” (1961:3). Memang logika tidak hanya berhenti pada tingkat penggambaran seperti yang dinyatakan M. Copi. Logika, lebih-lebih logika praktis, dalam prakteknya juga mengajarkan penggunaan alasan-alasan yang logis dalam proses berfikir, baik yang diungkapkan maupun yang tidak.

Retorik dan Tatabahasa

Dalam sejarahy perkembangan studi tutur dan bahasa pernah muncul suatu anggapan bahwa retorik adalah bagian dari tatabahasa. Anggapan ini tu8mbuh subur sdekitar abad XVIII, yaitu semasa orang memberikan penghargaan yang berlebih-lebihan kepada tatabahasa. Pada saat itu tatabahasa dipandang sebagai perangkat kaidah yang mengajarkan bagaimana berbahasa yang baik. Sebuah tutur dikatakan baik kalau bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah-kaidah yang digariskan oleh para tatabahasawan. Dengan demikian kalau ada bentuk tutur yang menyimpang dari kaidah itu, dianggap sebagai tutur yang jelek. Sejalan dengan anggapan ini, makla Retorik yang dipandangnya sebagai penutur bertutur tidak lain adalah bagian dari Tatabahasa, yang sekaligus juga merupakan alat penyebarluasan kaidah-kaidahnya.

Keadaan seperti yang terurai di atas tidak saja berlangsungf di abad XVIII, tetapi sampai abad XX inipun sementara ahli Bahasa yang disebut golongan “purist” masih mempertahankannya. Gejalanya tampak dalam pengajaran bahasa indonesia terutama karang-mengarang. Dimana para guru dalam menilai sebuah karangan sering mengabaikan aspek restoris, dan sebaliknya mereka cenderung mempertahannkan penyimpangan-penyimpangan dari kaidah yang dibuat.

Demikianlah salah satu kecenderungan perkembangan dalam pengajaran bahasa yang antara lain membuat retorik kehilangan posisi dan fungsinya yang wajar. Kalaupun ia dikatakan masih berpungsi maka satu-satunya fungsi yang dimiliki adalah menyebarluaskan kaidah-kaidah yang  ada dalam tatabahasa. Tentunya yang demikian ini bukan fungsi utama Retorik, Seperti telah diketahui bersama dari uraian terdahulu. Dalam pembinaan kemampuan bertutur, tatabahasa dan Retorik harus diterapkan dalam imbangan yang harmonis. Jangan sampai ada salah satu diantaranya yang dikorbankan untuk menggelamkan yang lain. Setiap penutur menguasai dan menggunakan kaidah-kaidah umum dari bahasa yang dipakainya, untuk kemudian memberikan warna retoris yang bersifat perseorangan pada kaidah-kaidah umum ityu. Jangan sampai penutur menggunakan kaidah-kaidah pribadi dalam tuturannya.

Kesimpulan bahwa retorik dan tatabahasa adalah dua ilmu yang memiliki otonomi sendiri-sendiri namun demikian antara masing-masingnya tidak bias dipisah-pisakan karena keterkaitannya yang dekat. Selain dengan logika, Ilmu Sastra dan Tatabahasa Retorik juga berhubungan erat dengan ilmi-ilmu lainnya lebih-lebih dengan ilmu-ilmu sosial dan kemnusiaan. Sebagai ilmu yang berbicaratentang manusia dengan kegiatan bertuturnya. Retorik banyak sekali memerlukan bantuan dari filsafat Ilmu jiwa Biologi, Sosiologi, Antropologi, Fisikologi, Linguistik dan yang lainnya.Sebagai contoh misalnya I.A Richards pakar ini dalam mengungkapkan teori Retorikanya banyak sekali menerapkan hasil-hasil penemuan  Psikologi  dan Biologi modern.

Dalam penampilan jenis tutur pengarahan misalnya Aristoteles mengharapkan agar penutur memiliki pengetahuan yang baik tentang situasi politik yang sedang berlangsung kondisi sosial ekonomi petutur corak ragam bahasa penutur. Dikatakan demikian karena ilmu yang terakhir inilah yang mengajarkankebenaran serta membimbing orang bertindak dan mengambil keputusan yang berdasarkan kebenaran.

Retorik memerlukan bantuan filsafat dalam rangka memahami manusia secara lebih baik, memilih kemungkinan yang paling benar dari sejumlah kemungkinan yang ada dan menemukan ulsan-ulasan yang benar. Sedangkan sebaliknya, filsafat sangat memerlukan retorik jika ia membeberkan penemuan-penemuan kebenarannya. Tanpa bantuan retorik, kebenaran-kebenaran filsafat itu tidak akan meyakinkan pihak lain. Dan sebagai seotang negarawan yang banyak berlibat dengan retori dalam pidato-pidatonya.

Dari berbagai ilmu yang tampaknya intensif diintegrasikan ke dalam Retorik, salah satu di antaranya yang banyak dikaji adalah Psikologi. Penemuan-penemuan dalam ilmu ini dimanfaatkan oleh Retorik untuk memahami jiwa manusia dalam kaitannya dengan kegiatan bertuturnya. Tiga aliran sangat dominan pengaruhnya terhadap Retorik adalah (1) Ilmu jiwa tingkah laku yang dipelopori Pavlov; (2) Ilmu jiwa dalam yang di rintis oleh Sigmund Freud; dan (3) Ilmu jiwa yang dikembangkan oleh C. Rogers yang menerangkan bahwa tingkah laku manusia dimotivasi oleh imajinasi dari dan sesuatu yang diidealkannya. Sebenarnya, banyak sekali jenis ilmu yang duperluksn bantuanya oleh Retorik. Maka secara umum dapat dikatakan bahwa kehadiran Retorik sebagai ilmu-ilmu, tidak terlepas hubunganya dengan ilmu-ilmu yang lain.

Kritik Sastra

Ekspresif Chairil Anwar

Dalam Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”

oleh

Novi Daniyati

Novidaniyati22@gmail.com


Secara harfiah kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk member pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan melalui pemahaman dan penafsiran yang sistemik. Berdasarkan tujuannya karya sastra bertujuan untuk menimbang, menerangkan, membuat aturan, menginterpretasikan, memberi putusan, dan menemukan asas seni yang baik. Dalam kritik sastra juga terdapat  aspek-aspek pokok, yakni:
1.    Analisis
2.    Interpretasi
3.    Evaluasi
Kritik sastra memiliki beberapa jenis, yakni:
1.    Berdasarkan pendekatanya,
a.    Kritik sastra penilaian
-kritik sastra ilmiah
-kritik sastra estetis
2.    Berdasarkan pendekatan terhadap karya sastranya
a.    Kritik mimetik
b.    Kritik pragmatik
c.    Kritik ekspresif
d.    Kritik objektif
3.    Berdasrkan bentuknya
a.    Kritik relatif
b.    Kritik absolute
Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode berdasrkan pendekatan terhadap karya sastranya dengan menggunakan metode ekspresif. Pendekatan ekspresif, yaitu kritik sastra yang menekankan telaahan kepada kebolehan pengarang dalam mengekpresikan atau mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra (umumnya puisi). Dalam hal ini kritik sastra cenderung menimbang karya sastra dengan memperlihatkan kemampuan pencurahan, kesejatian, atau visi penyair yang secara sadar atau tidak tercermin pada karyanya tersebut. (Semi, 7-8:2013).

Senja Di Pelabuhan Kecil
Chairil Anwar

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali, kapal, perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau terpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepek elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini, tanah, air, tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

(1946)


Chairil anwar adalah seorang sastrawan muda angkatan 45, yang terkenal dengan julukan Si binatang jalang. Julukan tersebut muncil bukan tanpa sebab melainkan buah dari satu karyanya yang berjudul “Aku”. Chairil merupakan sosok sastrawan yang dalam karyanya selalu mencerminkan sifat individualism yang sangat kental, karya-karyanya pun banyak yang bernuansa pemberontakan-pemberontkan baik itu terhadap sosial, politik, bahkan keadaan dirinya sendiri. Adapun beberapa karyanya yang berhubungan dengan Tuhan seperti puisis yang berjudul “Doa”. Dalam kritik sastra ini penulis memilih salah satu puisi darinya yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”.

Dalam puisinya yang berjudul senja dipelabuhan kecil yang menceritakan tentang seseorang yang merasa bahwa cinta, dan yang dicintainya sudah tidak ada lagi. Dalam puisinya penyair melukiskan rasa kesepiannya dengan mengambarkan lewat gedung, rumah tua, cerita tiang dan temali, kapal, dan perahu yang tidak berlaut, tertaut. Benda-benda itu semua mengungkapkan perasaan sedih dan sepi. Penyair merasa bahwa benda-benda di pelabuhan itu mengabaikanya, menghembus diri dalam mempercaya mau terpaut. Kata terpaut ini memiliki arti terikat (Yufid KBBI).  Dalam bait pertama itu dapat dirasakan bahwa penulis merasakan kesepian yang teramat dalam dapat dilihat pada bait berikut,

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali, kapal, perahu tiada berlaut
(tidak mempunyai arah tujuan)
Menghembus diri dalam mempercaya mau terpaut
(tapi masih memiliki kepercayaan untuk memiliki)


Pada bait kedua dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”, penyair mulai merasakan suasana pelabuhan tidak lagi terfokus terhadap benda-benda yang ada di sekitar pelabuhan. Seperti pada larik berikut, “gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang”. Ketika di pelabuhan itu turun gerimis yang menambah kesedihan penyair, dan ada kelepak elang yang membuat hati penyair lebih muram, Pada larik selanjutnya. “Menemu bujuk pangkal akanan” yang menunjukan bahwa penyair berpikiran bahwa ia akan menemukan sesuatu yang dapat menghibur hatinya yang sedang merasa sepi, tapi ternyata suasana pantai itu kemudian berubah. Harapan itu hilang, seperti pada bait berikut “tidak bergerak dan kini, tanah, air, tidur hilang ombak”.

Pada bait ketiga dalam puisi tersebut, penyair lebih memusatkan pikiranya pada dirinya. Dia merasa kesepian seperti pada larik berikut “aku sendiri”. Dalam kesendirian itu, penyair mencoba menyisir semenanjung dengan dipenuhi harapan, seperti pada larik, “Menyisir semenanjung, masih pengap harap”. Namun setibanya di ujung pantai dan memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut karena ia tidak menemukan tujuannya dan memutuskan untuk melupakan semuanya dan berharap bahwa kesedihanya cepet hilang. Seperti pada larik berikut “Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan” “dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap”.

Berdasarkan analisis puisi tersebut  jika dikaji berdasarkan metode ekspresif, dapat dilihat bahwa si pengarang mencoba mencurahkan apa yang sedang dialami oleh dirinya yang sedang merasa kesepian, dan merasa kalau orang-orang disekelilingnya su
dah mengabaikannya. Tapi walapun penyair sedang berada pada situasi yang merasa bahwa dirinya sudah ditinggalkan, tapi walapun dalam posisi tersebut penyair tetap mencoba untuk menemukan kembali cintanya walaupun pada akhirnya tetap tidak bisa didapatkan. 

Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” dari segi kebahasaanya menggunakan bahasa yang sulit dipahami sehingga pembaca harus mengkaji makna dari setiap kata yang Chairil tulis dalam puisi tersebut untuk kemudian memahami isi dari puisi tersebut tapi ketika pembaca sudah memahami isi dari puisi maka pemabaca juga bisa merasakan apa yang sedang di alami Chairil pada saat itu. Puisi tersebut layak dibaca oleh semua kalangan.

Thursday, March 30, 2017

Antologi Puisi dengan Tema Pahlawan

DONGENG PAHLAWAN

W.S Rendra

Pahlawan telah berperang denganpanji-panji
Berkuda terbang dan menangkan putri.
Pahlawan kita adalah lembu jantan
Melindungi padang dan kau perempuan.
Pahlawan melangkah dengan baju-baju sutra.

Malam tiba, angin tiba, ia pun tiba.
Adikku lanang, senyumlah bila bangun pagi-pagi
Kerna pahlawan telah berkunjung di tiap hari.

HAI, KAMU !

W.S. Rendra

Luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
noda di dalam pergaulan antar manusia,
duduk di dalam kemacetan angan-angan.
Aku berontak dengan memandang cakrawala.
Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.
 
Jakarta, 29 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

BAYI LAHIR BULAN MEI 1998  

Taufq Ismail
  
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga 
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba 
Begitu lahir ditating tangan bidannya 
Belum kering darah dan air ketubannya 
Langsung dia memikul hutang di bahunya 
Rupiah sepuluh juta 
  
Kalau dia jadi petani di desa 
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota 
Kalau dia jadi orang kota 
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya 
Kalau dia bayar pajak 
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing 
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing 
 
Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga 
Mulutmu belum selesai bicara 
Kau pasti dikencinginya. 
  
1998

MEMECAH MENGUTUHKAN

Emha Ainun Najib

 Kerja dan fungsi memecah manusia
 Sujud sembahyang mengutuhkannya
 Ego dan nafsu menumpas kehidupan
 Oleh cinta nyawa dikembalikan
 Lengan tanganmu tanggal sebelah
 Karena siang hari politik yang gerah
 Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
 Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu
 Suami dan istri tak saling mengabdi
 Tak mengalahkan atau memenangi
 Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
 Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan
 Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
 Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
 Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
 Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia
 
   1987 

SELAMAT  PAGI  INDONESIA

Sapardi Djoko Damonoe

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,


TENTANG KEMERDEKAAN

Toto Sudarto Bahtiar
   
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
janganlah takut kepadanya
Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
janganlah takut padanya
Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra
Bawalah daku kepadanya
 
 
Zaman Baru,
No. 11- 12
20 - 30 Agustus 1957

KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI

Taufiq Ismail

Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur.

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
"Duli Tuanku?"

Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangat untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada pilihan lagi. Kita harus
Berjalan terus

1966

diambil dari buku Tirani dan Benteng  
(Yayasan Ananda, Jakarta, 1993, halaman 113)

Wednesday, March 29, 2017

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

A.    Target Kegiatan Pembinaan Bahasa

  1. Penumbuhan sikap positif dalam berbahasa Indonesia, dapat dilihat dari komponen perilaku.
  2. Meningkatkan kegairahan
  3. Meningkatkan keikutsertaan
    pengembangan bahasa dan pembinaan bahasa indonesia

B.    Pengertian Pengembangan

Pengembangan adalah tindakan atau proses mengembangkan. Seperti yang dikemukakan Chaer (2013:67), kata atau istilah pengembangan biasa dikaitkan dengan kata pembinaan, yaitu sebuah nomina, yang menurut tata bahasa proses diturunkan dari verba tindakan membina. Maka kata pembinaan memiliki makna hal/proses membina atau “tindakan membina”.
Pengembangan bahasa berarti hal/proses mengembangkan bahasa atau segala tindakan berkaitan mengembangkan bahasa dan pembinaan bahasa berarti hal/proses membina bahasa. Objek dari pembinaan dan pengembangan adalah bahasa, namun memiliki sasaran yang berbeda.Pengembangan bahasa memiliki sasaran berupa substansi bahasa, sedangkan sasaran pembinaan adalah masyarakat pengguna bahasa itu.

C.    Linguistik dan Masalah Kebahasaan

1.    Masalah Kebahasaan

  • Masalah berkenaan dengan kedudukan bahasa
  • Dengan sistem atau sandi bahasa (Language Code)
  • Menyangkut pemakaian bahasa oleh masyarakat

2.    Hal-hal Lain Yang Dapat Menimbulkan Masalah Kebahasaan

  • Penentuan bahasa kebangsaan dan bahasa resmi kenegaraan.
  • Pengejaan dan pelafalan bahasa  perbedaan pengejaan atau pelafalan = salah tafsir, maka harus diseragamkan agar tidak salah tafsir.
  • Keterlibatan ahli bahasa dalam kegiatan pemecahan masalah kebahasaan
Secara umum dapat dianggap usaha penerapan ilmunya yang didorong oleh keprihatinan profesionalnya untuk turut memecahkan serangkaian masalah manusia di bidang komunikasi dan ekspresi.

3.    Sosiolinguistik dan Pemecahan Masalah Kebahasaan

Perilaku kebahasaan merupakan cerminan perilaku kemasyarakatan. Hal-hal yang mempengaruhi pengubahan bahasa:
  • Latar kemasyarakatan, ciri khas pembaru bahasa dan jenis motivasi yang mendasari pengubahan bahasa.
  • Ahli bahasa dapat berperan dalam proses perubahan dan pengubahan bahasa (Haugen, 1966a:1972).
  • Perbedaan ancangan bahasa yang dipandang dari struktur dan fungsi kemasyarakatan, sehingga melahirkan cabang ilmu yang baru, yaitu perencanaan bahasa.

4.    Hal Yang Harus Diperhartikan dalam Masalah Bahasa Neustupny (1968)

  • Tata hubungan antara kode bahasa dan ujaran
  • Hubungan kode bahasa dan pola perilaku
  • Hubungan komunikasi verbal dan nonverbal

5.    Peran Ahli Bahasa dalam Proses Perubahan dan Pengubahan Bahasa

  • Sebagai Sejarawan: merunut jejak sejarah bahasa yang diselidiki, menelaah tata bentuk asli dan serapan
  • Sebagai pemeri bahasa: menyiapkan deskripsi yang akurat tentang bahasa saat ini baik ragam lisan maupun tulisan
  • Sebagai ahli teori : memberi pengarahhan dalam pemahaman hakikat bahasa, menganalisis bahasa dan melukiskan rancangan bahasa

6.    Ancangan Alternatif untuk Perlakuan Masalah Kebahasaan

Tiga ancangan (approach) terhadap masalah kebahasaan:
  1. Garis haluan kebahasaan, yang pernah disebut politik bahasa, berkenaan dengan penentuan kedudukan bahasa dan fungsi sosiolinguistiknya
  2. Pengembangan bahasa mengenai pengembangan sandi bahasa. Di dalamnya termasuk pengaksaraan bahasa yang tidak mengenal tata tulis, pembakuan bahasa, dan pemodernan bahasaPembinaan bahasa bertujuan meningkatkan jumlah pemakai bahasa lewat penyebaran hasil pembakuan dan penyuluhan serta pembimbingan
  3. Cakupan perencanaan bahasa (tidak diterapkan sepenuhnya pada ancangan garis haluan), misalnya penentuan kedudukan bahasa dan fungsi sosiolinguistik jarang bergantung pada perencanaan bahasa, tetapi lebih sering pada pertimbangan latar politik, faktor sosial budaya, dan ekonomi. pengembangan dan pembinaan mencakup dua  arah, yaitu (1) pengembangan bahasa mencakup dua masalah pokok (masalah bahasa dan masalah kemampuan/sikap) dan (2) pembinaan juga mencakup dua arah (masyarakat luas dann generasi pelapis).

D.    Perbedaan Perancangan (Plan-Making) dan Perencanaan (Planning)

Perancangan terbatas pada penetapan sasaran, analisis terhadap pencapaian yang optimal, penyelidikan terhadap kemungkinan perwujudan sasaran, dan penilaian atas keefektifan pelaksanaan program. Perencanaan; usaha meramalkan perubahan bahasa yang akan terjadi di masa depan, tetapi usaha itu bahkan berniat mempengaruhi perubahan itu.

E.    Definisi perencanaan bahasa (Language Planning)

Perbedaan ancangan terhadap bahasa yang dipandang dari sudut struktur dan fungsi kemasyarakatanlah yang menimbulkan cabang ilmu yang baru yang disebut perencanaan bahasa.
Haugen dalam Moeliono (1985:5) mendefinisikan bahwa perencanaan bahasa adalah usaha membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh perencana. Neustpny (1970)
  • Ketidakpadanan ragam bahasa tertentu di masyarakat
  • Ketidakpadanan penggunaan bahasa seseorang
  • Masalah bahasa

 Usaha untuk Mengatasi Masalah Bahasa

  • Ancangan garis haluan (policy approach): menangani masalah pemilihan bahasa kebangsaan, pembakuan bahasam keberaksaraan (literacy), tata ejaan, variasi bahasa
  • Ancangan pembinaan (cultivate approach): Ketepatan dan keefisienan dalam pemakaian bahasa soal langgam bahasa (style), kendala (constraint) dalam komunikasi
  • Usaha untuk mengatasi masalah bahasa

Dua Dimensi Perencanaan Bahasa (Kloss:1969)

  • Perencanaan status bahasa
  • Tata hubungannya dengan bahasa lain
  • Penentuan kedudukan suatu bahasa
  • Perencanaan korpus bahasa
  • Pembentukan Istilah
  • Pengubahan Ejaan
Garvin (1973) dalam ulasannya terhadap konsep perencanaan bahasa, mengemukakan perencanaan harus dibedakan dua hal:
  1. Pemilihan bahasa untuk maksud dan tujuan yang direncanakan, misalnya sebagai bahasa kebangsaan atau bahasa resmi dan yang melibatkan banyak faktor di luar bahasa.
  2. Pengembangan bahasa bertujuan meningkatkan taraf keberaksaraan dan pembakuan bahasa
  3. Gorman (1973) membedakan perencanaan bahasa berdasarkan alokasi bahasa berkaitan dengan garis haluan kebahasaan dan yang semuanya termasuk pengaturan bahasa (language regulation).

F.    Hubungan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Pengembangan adalah tindakan atau proses mengembangkan. Seperti yang dikemukakan Chaer (2013:67), kata atau istilah pengembangan biasa dikaitkan dengan kata pembinaan, yaitu sebuah nomina, yang menurut tata bahasa proses diturunkan dari verba tindakan membina. Maka kata pembinaan memiliki makna hal/proses membina atau “tindakan membina”.
Pengembangan bahasa berarti hal/proses mengembangkan bahasa atau segala tindakan berkaitan mengembangkan bahasa dan pembinaan bahasa berarti hal/proses membina bahasa.Objek dari pembinaan dan pengembangan adalah bahasa, namun memiliki sasaran yang berbeda.Pengembangan bahasa memiliki sasaran berupa substansi bahasa, sedangkan sasaran pembinaan adalah masyarakat pengguna bahasa itu.
Pembinaan harus dilakukan (1) karena kemampuan berbahasa Indonesia masyarakat Indonesia sangat tidak memuaskan, (2) karena banyak orang Indonesia yang memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia, sehingga mereka berbahasa Indonesia dengan prinsip “asal mengerti” tanpa memperhatikan kaidah-kaidah dan aturan bahasa yang benar, bangga terhadap bahasa asing sehingga bahasa Indonesia mereka terinferensi kosakata bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) atau dapat dikatakan terdapat erosi rasa kebangsaan pada NKRI.

G.    Kedudukan Bahasa Indonesia

  • 28 Oktober 1928 (sumpah pemuda)  Bahasa Indonesia ditentukan sebagai bahasa nasional
  • Pasal 36 UUD 1945  kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara
  • Seminar politik Bahasa Nasional 1999  bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional
  • Fungsi Bahasa Indonesia
  • Lambang kebanggaan nasional
  • Fungsi sebagai bahasa Negara

Saturday, March 25, 2017

Pemimpin Sunda



Pegangan Pemimimpin Sunda
  1. Caina herang laukna beunang  
  2. Leuleus jeujeur liat tali
  3.  Bobot pangayom timbang taraju 
  4. Tara getas harupateun 
  5. Landung kandungan, laer aisan 
  6. Hirup sauyunan tara pahiri-hiri, silih pikanyaah teu inggis bela pati 
  7. Dibeuweung diutahkeun

Budaya Orang Sunda 
  1. Gampang wanoh (mudah bergaul) 
  2. Komunikatif 
  3. Sabar, ramah 
  4. Ngajauhan pipaseaan (menjauhi pertengkaran) 
  5. Tara sombong (tidak sombong) 
  6. Tara serakah 
  7. Tara kabita ku (karincing duit, geboy birit, kocopok lauk emasna) 
  8. Waspada (sodom araning braja sakunanang araning geni)

Sifat orang sunda yang harus dikantun 
  1. Kumaha nu dibendo 
  2. Ngiringan bae (mengikuti saja) 
  3. Mangga nyanggakeun 
  4. Sumuhun dawuh 
  5. Ngelehan maneh 
  6. Kajeun eleh asal doeh 
  7. Bengkung ngariung bengkok ngaroyok 
  8. Buruk-buruk papan jati

Tamehna: carang nu jadi pamingpin nasiobal, urang sunda jadi seke seler nu ka kantun

1.      Panca parisda (5 landong mujarab).
Ketika mendapatkan sebuah kritikan maka harus dianggap sebagai bahan untuk instropeksi diri, anggap saja kritikan seperti; 
  1. Keur dekil manggih cai keur beberesih 
  2. Rambut keur kusut aya nu nyisiran 
  3. Keur lapar aya nu nyunguhan 
  4. Keur dahaga aya nu maparin cai 
  5. Keur kesel aya nu maparin lamereun
Darma pitutur  
  1.  Talaga carita hangsa, artinya;  narosken talaga kedah ka soang 
  2. Gajendra carita banem, artinya; mun hoyong terang leuweung taroskeun ka gajah 
  3. Sagarem carita matsanem, artinya; mun hoyong terang sagara taroskeun ka lauk hiu 
  4. Puspawarem carita bangbarem, artinya; naroskeun kembang kedah ka bangbara Kesimpulanya: apabila ingin bertanya harus pada ahlinya. 
Sangga gati (9 kautamaan), hartosna kedah; 
  1. cageur; cageur awak, lampah, dan tekadna. 
  2. Bageur; handap asor sareng santun. 
  3. Bener; henteu nyalah gunakeun aturan. 
  4. Pinter; lega wawasan, seueur kanyaho. 
  5. Wanter; sonagar, wanian.
  6.  Singer; parigel, hideng. 
  7. Teger; teu gampang dipangaruhan, teu galinder. 
  8. Pangger; ajeg dina aturan. 
  9. Cangker; jagjag waringkas.
Dasa karta (10 kasajahteraan )
10 lawang yang ada dalam badan harus dimanfaatkan dengan benar, diantaranya: 
  1. Mata; ulah barang deuleu, mo ma nu teu sireup dideuleu. Keunana dora bancana sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka. Hengan lamun kapahayu na sinenggah utama ning pangdeuleuan.  Artinya: mata jangan sembarangan melihat segala sesuatu yang belum siap dilihat, karena hal tersebut bisa jadi hal yang mencelakakan. Meunang hina dina dasar naraka, ngan mun kapira baris meunang bagja tina paningal.
  2.  Dua ceuli .... idem diluhur 
  3. Dua liang irung .... idem diluhur 
  4. Hiji baham .... idem diluhur 
  5. Dua palawangan .... idem diluhur 
Kesimpulannya: Segala sesuatu yang ada didalam tubuh kita katut kaki dan tangan, harus karaksa. Jangan digunakan dijalan yang salah yang mencelakakan.Harmoni

Silih asah, silih asih, silih asuh
  • Ambeh pinter, silih asah 
  • Ambeh teu jadi papaseaan, silih asih 
  • Ambeh tetep sauyunan, silih asuh/ silih talingakeun

Toponimi




    Pengertian Toponimi           
Menurut Sugono (2008:1482) toponimi adalah cabang ilmu onomastika yang menyelidiki nama tempat.
Menurut Widodo ES (2006) toponimi artinya nama tempat di muka bumi ("topos" adalah "tempat" dan "nym" adalah "nama"). Toponimi dikenal juga dengan sebutan "Geographical Names (Nama Geografis)" atau "Place Names (Nama Tempat)" atau "Topographical Names (Nama Rupabumi)". Sedangkan toponimi itu sendiri memiliki dua pengertian yakni (a) ilmu yang mempunyai obyek studi tentang toponim pada umumnya dan tentang nama geografis khususnya, dan (b) totalitas dari toponim dalam suatu wilayah.

Jadi toponimi adalah sebuah cabang ilmu onomasika yang mempelajari atau menyelidiki nama suatu tempat.  Selain itu toponimi dikenal juga dengan sebutan "Geographical Names (Nama Geografis)" atau "Place Names (Nama Tempat)" atau "Topographical Names (Nama Rupabumi)".

Sejarah Toponimi
Menurut Jacub Rais (2006) nama unsur geografi, atau disingkat “nama geografik” (geographical names) disebut “toponim”. Secara harafiah berarti “nama tempat” (place names). Nama tempat tidak harus diartikan nama pemukiman (nama tempat tinggal), tetapi nama unsur geografi yang ada di suatu tempat (daerah), seperti sungai, bukit, gunung, pulau, tanjung, dsb. Unsur-unsur ini dikenal secara luas sebagai unsur “topografi”. Sejarah Toponimi dimulai bersamaan dengan dikenalnya peta (sehingga berkaitan dengan Kartografi) dalam peradaban manusia yang dimulai pada zaman Mesir Kuno. Untuk memberikan keterangan (nama) pada unsur yang digambarkan pada peta diperlukan suatu usaha untuk ‘merekam’ dari bahasa verbal (lisan) ke dalam bentuk tulisan atau simbol. Sejarah mencatat nama-nama Comtey de Volney (1820), Alexander John Ellis (1848), Sir John Herschel (1849) dan Theodore W. Erersky (1913) yang terus berusaha untuk membakukan proses penamaan unsur geografis pada lembar peta melalui berbagai metode. Pada akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) di bawah struktur Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UN ECOSOC).
Tata cara pembakuan pemberian nama pada unsur geografis ternyata tidak sesederhana perkiraan banyak orang. Tata cara untuk menstandarisasi dan mengatur penamaan suatu unsur geografis dikaji dan diatur dalam suatu cabang ilmu yang dikenal sebagai Toponimi. Ilmu ini berkaitan erat dengan kajian Linguistik, Antropologi, Geografi Sejarah dan Kebudayaan.
Pedoman Penelitian Toponimi (Nama Unsur Geografi di Indonesia)
 Jika kita cermati, banyak nama unsur geografi di Indonesia terdiri atas dua bagian yaitu nama generik dan nama spesifik. Menurut Jacub Rais (2006) yang dimaksud dengan nama generik adalah nama yang menggambarkan bentuk dari unsur geografis tersebut, misalnya sungai, gunung, kota dan unsur lainnya. Sedang nama spesifik merupakan nama diri (proper name) dari nama generik tersebut yang juga digunakan sebagai unit pembeda antar unsur geografis. Nama spesifik yang sering digunakan untuk unsur geografis biasanya berasal dari kata sifat, misalnya ’baru’, ’jaya’, ’indah’, ’makmur’ atau kata benda yang bisa mencerminkan bentuk unsur tersebut, misalnya ’batu’, ’candi’ dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan tulisan Jacob Rais (2006) yang mengatakan nama-nama generik dari unsur geografi, antara lain:
1.      Sungai (bahasa Indonesia) atau air, aik, ai, oi, kali, batang, wai, ci, brang, jeh, nanga,krueung, Ie, (bahasa lokal)
2.      Gunung (bahasa Indonesia) atau dolok, buku, bulu, deleng, keli, wolo,cot, batee (bahasa lokal)
3.      Tanjung (bahasa Indonesia) atau ujung, cuku (bahasa lokal)
4.      Danau (bahasa Indonesia) atau telaga, situ, ranu (bahasa lokal)
5.      Pulau (bahasa Indonesia) atau nusa, mios (meos), pulo, towade, wanua, libuton, lihuto (bahasa lokal)….
Contohnya nama wilayah daerah di sekitar Cianjur atau Jawa Barat seperti; Cipanas, Cianjur, Ciamis, Gunung Putri, Gunung Salak, Ujung Kulon, Ujung Genteng, Talaga Warna dll.
Penamaan nama-nama wilayah atau daerah di Indonesia yang kayak ragam sangat menarik untuk kita kaji dan teliti. Namun kenyataan di masyarakat, keragamaan penamaan tempat wilayah Indonesia menjadi hal yang dilematis karena masyarakat sendiri banyak yang tidak mengetahui asal usul atau sejarah penamaan dari daerah tempat tinggalnya sendiri, oleh karena itu peneliti menganggap penelitian tentang asal usul cerita penamaan sebuah wilayah penting untuk dikaji dan diteliti karena masyarakat membutuhkan referensi untuk mengetahui penamaan asal tempat tinggalnya. Seperti halnya penamaan atau asal usul Pantai Pelabuhan Ratu yang peneliti anggap penting untuk diteliti karena mitos dalam Pantai Pelabuhan Ratu begitu kuat dan menarik sehingga sebagai putra daerah dan penikmat wisata Pantai Pelabuhan Ratu peneliti menganggap hal itu penting untuk diteliti dan dikaji guna menambah pengetahuan masyarakat.
Nama-nama tempat di Indonesia terdiri dari banyak ragam, ada yang menggunakan satu kata, dua kata bahkan ada yang menggunakan tiga kata atau lebih. Di Indonesia sendiri pedoman itu sudah dibuat dan digunakan seperti pedoman dan kaedah penamaan yang disampaikan oleh  Jacob Rais (2006) :
1.      Dalam menulis nama unsur geografi ditulis terpisah antara nama generik dan nama spesifiknya. Lihat contoh di bawah ini:
Nama generik dan nama spesifik suatu unsur / ciri geografi ditulis secara terpisah:
Sungai Musi; Air Bangis; Krueung Aceh; Ie Mola; Wai Seputih; Batang Hari; Ci Liwung; Danau Toba; Laut Jawa; Selat Sunda; Pulau Nias; Tanjung Cina; Kota Bandung; Gunung Merbabu; Bukit Suharto. Singkatan Nama Generik di peta: Tanjung: Tg.; Pulau: P.; Laut: L.; Selat: Sel.; Wai: W. Sungai: S atau Sei, Ujung: U. Kota, Umumnya generik “Kota” tidak ditulis dan juga tidak disebut karena orang tahu bahwa itu nama kota: “Kota Bandung” atau“Bandung” saja.
2.      Banyak nama spesifik di Indonesia, khususnya nama kota dan pemukiman memuat juga nama generik dalam nama spesifiknya, seperti nama-nama kota memakai gunung, bukit, tanjung, ujung, pulau dst dalam nama spesifiknya.Dalam kasus ini nama spesifik tersebut ditulis dalam satu kata. Contoh di bawah ini:
Gunungsitoli; Cimahi; Ujungpandang; Bukittinggi; Muarajambi; Tanjungpinang; Tanjungpriok; Krueungraya; Sungailiat; Bandarlampung; Airmadidi; Sungaipenuh; Kualasimpang.
Contoh di Jawa Barat ada sungai yang bernama Ci Liwung (harus ditulis dengan 2 kata). Tetapi jika suatu kota (generik) “Ci” dipakai dalam nama spasifik, maka ditulis dengan satu kata (Cimahi, Cibinong, Cikampek). Lihat peta yang dibuat di masa penjajahan Belanda (masih pakai ortografi lama “tj” untuk “c”, “dj” untuk ”j”, “oe” untuk “u”.
3.      Jika suatu nama spesifik ditambah dengan kata sifat di belakangnya atau penunjuk arah, maka ditulis terpisah. Contoh: Jawa Barat; Kebayoran Baru; Sungai Tabalong Kiwa; Kotamubago Selatan; Kampung Desatengah Selatan; Nusa Tenggara Timur; Panyabungan Tonga; Psupayautang Jae (tonga = tengah; jae= utama di kabupaten Tapanuli Selatan); Kemang Utara; Durentiga Selatan. 
4.      Jika nama spesifik yang terdiri dari kata berulang, ditulis sebagai satu kata. Misalnya Bagansiapiapi; Siringoringo; Sigiringgiring; Mukomuko. Jika nama spesifik yang ditulis dengan angka sebagai penomoran, maka nomor ditulis dengan huruf, misalnya Depok Satu; Depok Dua; Depok Timur Satu; Koto Ampek. Jika nama spesifik terdiri dari dua kata benda, ditulis sebagai satu kata, misalnya Tanggabosi; Bulupayung; Psupayaalam.
5.      Nama spesifik terdiri dari kata benda diikuti dengan nama generik, maka ditulis sebagai satu kata, misalnya: Pintupadang; Psupayagunung; Pondoksungai; Kayulaut.
Nama spesifik yang terdiri dari 3 kata, masing-masing 2 nama generik diikuti dengan kata sifat atau kata benda, maka ditulis sebagai satu kata, misalnya Torlukmuaradolok (torluk = teluk; muara = muara; dolok = gunung); Muarabatangangkola (muara dan batang adalah nama generik; angkola = nama benda).
6.      Banyak contoh nama spesifik terdiri dari 4 kata atau lebih, misalnya beberapa daerah di Tapanuli Selatan: Purbasinombamandalasena; Dalihannataluhutaraja; Hutalosungparandolok Lorong Tiga; Gunungmanaonunterudang. Untuk memudahkan disarankan tidak memakai nama yang panjang.
Selain diambil dari bangsa Indonesia, banyak nama-nama unsur geografi yang berasal dari nama asing yang terucapkan dengan lidah Indonesia atau diterjemahkan secara harafiah dalam bahasa Indonesia atau diganti dengan nama Indonesia.
Yang berasal dari pengucapan bahasa asing:
Tanjong Priok seharusnya ditulis Tanjungperiuk atau Tanjungpriok (kalau “priok” bahasa Betawi dari “periuk”; Ayer Item seharusnya Air Hitam
Yang berasal dari bahasa asing dengan pengucapan gaya bahasa Indonesia:
Singerland menjadi Sangerlang; Glen More menjadi Glemor; Malborough menjadi Malioboro; Zandvoort menjadi Sanpur, Sampur;
Selain pedoman dalam penelitian nama geografi atau penamaan sebuah tempat, Jacob Rais juga memberikan kaedah penamaan yang bisa diajukan bagi penamaan sebuah tempat. Kaidah tersebut meliputi:
1.      Menggunakan abjad Romawi atau huruf Latin
2.      Mengutamakan nama lokal dan singkat
3.      Tidak menggunakan nama yang sudah digunakan di tempat lain dalam
wilayah yang sama
4.       Tidak menggunakan nama yang menimbulkan pertentangan suku, agama,
ras dan antar golongan (sara)
5.      Tidak menggunakan nama orang atau tokoh masyarakat yang masih hidup
6.      Tidak menggunakan nama perusahaan
7.      Tidak menggunakan nama asing atau bahasa asing
8.      Menggunakan kaedah bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penelitian nama unsur geografi
9.      Menggunakan nama yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional dan internacional
Jadi, dalam penamaan nama tempat. Indonesia telah memiliki kaidah atau pedoman untuk melakukan pemberian nama. Selain itu, dengan adanya kaidah atau pedoman pemberian nama geografi Indonesia bisa menjaga dan memberikan aturan yang baku bagi penamaan sebuah wilayah atau tempat.

Retorika

Retorika Sebagai Ilmu Kamus Besar Bahasa indonesia menyebutkan bahwa retorika dalam arti sempit diartikan sebagai, (1) studi tentang pema...