Menurut Sugono (2008:1482) toponimi adalah cabang ilmu
onomastika yang menyelidiki nama tempat.
Menurut Widodo
ES (2006) toponimi artinya nama tempat di muka bumi ("topos" adalah
"tempat" dan "nym" adalah "nama"). Toponimi
dikenal juga dengan sebutan "Geographical Names (Nama
Geografis)" atau "Place Names (Nama Tempat)" atau "Topographical
Names (Nama Rupabumi)". Sedangkan toponimi itu sendiri memiliki dua
pengertian yakni (a) ilmu yang mempunyai obyek studi tentang toponim pada
umumnya dan tentang nama geografis khususnya, dan (b) totalitas dari toponim
dalam suatu wilayah.
Jadi toponimi
adalah sebuah cabang ilmu onomasika yang mempelajari atau menyelidiki nama
suatu tempat. Selain itu toponimi
dikenal juga dengan sebutan "Geographical Names (Nama
Geografis)" atau "Place Names (Nama Tempat)" atau "Topographical
Names (Nama Rupabumi)".
Sejarah Toponimi
Menurut
Jacub Rais (2006) nama unsur geografi, atau disingkat “nama geografik” (geographical
names) disebut “toponim”. Secara harafiah berarti “nama tempat” (place names). Nama tempat tidak harus
diartikan nama pemukiman (nama tempat tinggal), tetapi nama unsur geografi yang
ada di suatu tempat (daerah), seperti sungai, bukit, gunung, pulau, tanjung,
dsb. Unsur-unsur ini dikenal secara luas sebagai unsur “topografi”. Sejarah Toponimi dimulai bersamaan dengan dikenalnya
peta (sehingga berkaitan dengan Kartografi) dalam peradaban manusia yang
dimulai pada zaman Mesir Kuno. Untuk memberikan keterangan (nama) pada unsur
yang digambarkan pada peta diperlukan suatu usaha untuk ‘merekam’ dari bahasa
verbal (lisan) ke dalam bentuk tulisan atau simbol. Sejarah mencatat nama-nama
Comtey de Volney (1820), Alexander John Ellis (1848), Sir John Herschel (1849)
dan Theodore W. Erersky (1913) yang terus berusaha untuk membakukan proses
penamaan unsur geografis pada lembar peta melalui berbagai metode. Pada
akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk United Nations Group of
Experts on Geographical Names (UNGEGN) di bawah struktur Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB (UN ECOSOC).
Tata cara pembakuan pemberian nama pada unsur
geografis ternyata tidak sesederhana perkiraan banyak orang. Tata cara untuk
menstandarisasi dan mengatur penamaan suatu unsur geografis dikaji dan diatur
dalam suatu cabang ilmu yang dikenal sebagai Toponimi. Ilmu ini berkaitan erat
dengan kajian Linguistik, Antropologi, Geografi Sejarah dan Kebudayaan.
Pedoman Penelitian Toponimi
(Nama Unsur
Geografi di Indonesia)
Jika kita cermati, banyak nama unsur geografi di Indonesia
terdiri atas dua bagian yaitu nama generik dan nama spesifik. Menurut Jacub
Rais (2006) yang dimaksud dengan nama generik adalah nama yang menggambarkan
bentuk dari unsur geografis tersebut, misalnya sungai, gunung, kota dan unsur
lainnya. Sedang nama spesifik merupakan nama diri (proper name) dari
nama generik tersebut yang juga digunakan sebagai unit pembeda antar unsur geografis. Nama spesifik yang sering
digunakan untuk unsur geografis biasanya berasal dari kata sifat, misalnya
’baru’, ’jaya’, ’indah’, ’makmur’ atau kata benda yang bisa mencerminkan bentuk
unsur tersebut, misalnya ’batu’, ’candi’ dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan
tulisan Jacob Rais (2006) yang mengatakan nama-nama generik dari unsur geografi, antara
lain:
1. Sungai (bahasa
Indonesia) atau air, aik, ai, oi, kali, batang, wai, ci, brang, jeh, nanga,krueung,
Ie, (bahasa lokal)
2. Gunung (bahasa
Indonesia) atau dolok, buku, bulu, deleng, keli, wolo,cot, batee (bahasa lokal)
3. Tanjung (bahasa Indonesia) atau ujung, cuku
(bahasa lokal)
4. Danau (bahasa Indonesia) atau telaga, situ,
ranu (bahasa lokal)
5. Pulau (bahasa
Indonesia) atau nusa, mios (meos), pulo, towade, wanua, libuton, lihuto (bahasa
lokal)….
Contohnya nama wilayah
daerah di sekitar Cianjur atau Jawa
Barat seperti; Cipanas, Cianjur, Ciamis, Gunung Putri, Gunung Salak, Ujung
Kulon, Ujung Genteng, Talaga Warna dll.
Penamaan nama-nama
wilayah atau daerah di Indonesia yang kayak ragam sangat menarik untuk kita
kaji dan teliti. Namun kenyataan di masyarakat, keragamaan penamaan tempat
wilayah Indonesia menjadi hal yang dilematis karena masyarakat sendiri banyak
yang tidak mengetahui asal usul atau sejarah penamaan dari daerah tempat
tinggalnya sendiri, oleh karena itu peneliti menganggap penelitian tentang asal
usul cerita penamaan sebuah wilayah penting untuk dikaji dan diteliti karena
masyarakat membutuhkan referensi untuk mengetahui penamaan asal tempat
tinggalnya. Seperti halnya penamaan atau asal usul Pantai Pelabuhan Ratu yang peneliti
anggap penting untuk diteliti karena mitos dalam Pantai Pelabuhan Ratu begitu
kuat dan menarik sehingga sebagai putra daerah dan penikmat wisata Pantai
Pelabuhan Ratu peneliti menganggap hal itu penting untuk diteliti dan dikaji
guna menambah pengetahuan masyarakat.
Nama-nama tempat di
Indonesia terdiri dari banyak ragam, ada yang menggunakan satu kata, dua kata
bahkan ada yang menggunakan tiga kata atau lebih. Di Indonesia sendiri pedoman
itu sudah dibuat dan digunakan seperti pedoman dan kaedah penamaan yang
disampaikan oleh Jacob Rais (2006) :
1. Dalam menulis nama unsur
geografi ditulis terpisah antara nama generik dan nama spesifiknya. Lihat contoh di bawah ini:
Nama generik dan nama spesifik suatu unsur /
ciri geografi ditulis secara terpisah:
Sungai Musi; Air Bangis; Krueung Aceh; Ie
Mola; Wai Seputih; Batang Hari; Ci Liwung; Danau Toba; Laut Jawa; Selat Sunda;
Pulau Nias; Tanjung Cina; Kota Bandung; Gunung Merbabu; Bukit Suharto. Singkatan
Nama Generik di peta: Tanjung: Tg.; Pulau: P.; Laut: L.; Selat: Sel.; Wai: W.
Sungai: S atau Sei, Ujung: U. Kota, Umumnya generik “Kota” tidak ditulis dan
juga tidak disebut karena orang tahu bahwa itu nama kota: “Kota Bandung”
atau“Bandung” saja.
2.
Banyak nama spesifik di
Indonesia, khususnya nama kota dan pemukiman memuat juga nama generik dalam
nama spesifiknya, seperti nama-nama kota memakai gunung, bukit, tanjung, ujung,
pulau dst dalam nama spesifiknya.Dalam kasus ini nama spesifik tersebut ditulis dalam satu
kata. Contoh di bawah ini:
Gunungsitoli; Cimahi;
Ujungpandang; Bukittinggi; Muarajambi; Tanjungpinang; Tanjungpriok; Krueungraya;
Sungailiat; Bandarlampung; Airmadidi; Sungaipenuh; Kualasimpang.
Contoh di Jawa Barat ada
sungai yang bernama Ci Liwung (harus ditulis dengan 2 kata). Tetapi jika suatu
kota (generik) “Ci” dipakai dalam nama spasifik, maka ditulis dengan satu kata
(Cimahi, Cibinong, Cikampek). Lihat peta yang dibuat di masa penjajahan Belanda
(masih pakai ortografi lama “tj” untuk “c”, “dj” untuk ”j”, “oe” untuk “u”.
3.
Jika suatu nama spesifik ditambah dengan kata sifat di
belakangnya atau penunjuk arah, maka ditulis terpisah. Contoh: Jawa Barat;
Kebayoran Baru; Sungai Tabalong Kiwa; Kotamubago Selatan; Kampung Desatengah
Selatan; Nusa Tenggara Timur; Panyabungan Tonga; Psupayautang Jae (tonga =
tengah; jae= utama di kabupaten Tapanuli Selatan); Kemang Utara; Durentiga
Selatan.
4.
Jika nama spesifik yang terdiri dari kata berulang,
ditulis sebagai satu kata. Misalnya Bagansiapiapi; Siringoringo;
Sigiringgiring; Mukomuko. Jika nama spesifik yang ditulis dengan angka sebagai
penomoran, maka nomor ditulis dengan huruf, misalnya Depok Satu; Depok Dua;
Depok Timur Satu; Koto Ampek. Jika nama spesifik terdiri dari dua kata benda,
ditulis sebagai satu kata, misalnya Tanggabosi; Bulupayung; Psupayaalam.
5. Nama spesifik terdiri
dari kata benda diikuti dengan nama generik, maka ditulis sebagai satu kata,
misalnya: Pintupadang; Psupayagunung; Pondoksungai; Kayulaut.
Nama spesifik yang
terdiri dari 3 kata, masing-masing 2 nama generik diikuti dengan kata sifat
atau kata benda, maka ditulis sebagai satu kata, misalnya Torlukmuaradolok
(torluk = teluk; muara = muara; dolok = gunung); Muarabatangangkola (muara dan
batang adalah nama generik; angkola = nama benda).
6. Banyak contoh nama
spesifik terdiri dari 4 kata atau lebih, misalnya beberapa daerah di Tapanuli
Selatan: Purbasinombamandalasena; Dalihannataluhutaraja; Hutalosungparandolok
Lorong Tiga; Gunungmanaonunterudang. Untuk memudahkan disarankan tidak
memakai nama yang panjang.
Selain diambil dari bangsa Indonesia, banyak nama-nama unsur
geografi yang berasal dari nama asing yang terucapkan dengan lidah Indonesia
atau diterjemahkan secara harafiah dalam bahasa Indonesia atau diganti dengan
nama Indonesia.
Yang berasal dari pengucapan bahasa asing:
Tanjong Priok seharusnya ditulis Tanjungperiuk atau
Tanjungpriok (kalau “priok” bahasa Betawi dari “periuk”; Ayer Item seharusnya
Air Hitam
Yang berasal dari bahasa asing dengan pengucapan gaya
bahasa Indonesia:
Singerland menjadi Sangerlang; Glen More menjadi Glemor;
Malborough menjadi Malioboro; Zandvoort menjadi Sanpur, Sampur;
Selain pedoman dalam penelitian nama
geografi atau penamaan sebuah tempat, Jacob Rais juga memberikan kaedah
penamaan yang bisa diajukan bagi penamaan sebuah tempat. Kaidah tersebut
meliputi:
1. Menggunakan abjad Romawi
atau huruf Latin
2. Mengutamakan nama lokal
dan singkat
3. Tidak menggunakan nama
yang sudah digunakan di tempat lain dalam
wilayah yang sama
wilayah yang sama
4. Tidak menggunakan nama yang menimbulkan
pertentangan suku, agama,
ras dan antar golongan (sara)
ras dan antar golongan (sara)
5. Tidak menggunakan nama
orang atau tokoh masyarakat yang masih hidup
6. Tidak menggunakan nama
perusahaan
7. Tidak menggunakan nama
asing atau bahasa asing
8. Menggunakan kaedah
bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penelitian nama unsur geografi
9. Menggunakan nama yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional dan internacional
Jadi,
dalam penamaan nama tempat. Indonesia telah memiliki kaidah atau pedoman untuk
melakukan pemberian nama. Selain itu, dengan adanya kaidah atau pedoman
pemberian nama geografi Indonesia bisa menjaga dan memberikan aturan yang baku
bagi penamaan sebuah wilayah atau tempat.