Monday, April 3, 2017

Retorika

Retorika Sebagai Ilmu

Kamus Besar Bahasa indonesia menyebutkan bahwa retorika dalam arti sempit diartikan sebagai, (1) studi tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang mengarang, dan (2) seni berpidato yang muluk-muluk. Pengertian ini tentu dalam suatu rumusan pragmatik dan belum sepenuhnya mencakup pengertian dasar yang berkembang di khasanah retorika Indonesia. Seringkali pengertian retorika tidak bisa dilepaskan dari pengertian persuasi dan seringkali dianggap sama saja dengan gaya bahasa. Oleh sebab itu dalam kajian ini diperlukan pemaparan pengertian dasar retorika.

Dari berbagai cabang ilmu yang menggarap kegiatan bertutur dan berbahasa, ada beberapa diantaranya yang dekat sekali gejalanya dengan retorik. Cabang ilmu adalah logika, tatabahasa dan sastra (Oka dan Basuki, 19990:53). Wilayah kajian retorika seringkali dikaburkan dengan masalah-masalah logika, tatabahasa dan satra. Batas-batas ketiga ilmu tersebut seringkali bersinggungan dengan kajian retorika, bahkan bisa pada unsur yang sama. Misalnya dalam Retorika, juga menempatkan analogi (logika), struktur dan makna kalimat (tatabahasa) dan diksi (sastra) sebagai unsur karakteristik retorika. Keterkaitan semacam ini sebagaimana dikatakan oleh Roland Barthes bahwa Rhetoric must always be read in its structural interplay with its neighbors, grammar, logic, poetics and philodopy  (Parelman, 1982:1). Meskipun demikian keberadaan retorika sebagai ilmu di tandai oleh seperangkat ciri. Perangkat ciri ini bukan saja berfungsi sebagai penanda, melainkan juga sebagai pembedadari ilmu-ilmu yang lain (Oka dan Basuki, 1999:41).

Golden, dkk (1983:13) menjelaskan bahwa retorika adalah studi tentang bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk membuat pilihan secara bebas. Retorika dipandang sebagai studi yang tertua dan paling sentral dalam berbagai studi kemanusiaan. Brooks dan Warren (1970:6) menjelaskan bahwa retorika adalah seni penggunaan bahasa secara efektif. Oleh sebab itu, pada awalnya retorika memang diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik (kunts, gut zu reden atatu ars bene dicend), yang dapat dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars tecne) (Hendrikus, 1991:14). Namun sebagai suatu ilmu, retorika ditandai oelh seperangkat ciri yang merupakan karakteristik keilmuannya. Seperangkat yang dimaksud meliputi:
1)    Paradigma yang mencakup perspektif teori secara umum dan model berpikir terhadap fenomenanya.
2)    Metode dan instrumen yang dipergunkan.
3)    Jangkauan permasalahannya (khun dalam Andersen, 198;155; Oka dan Basuki, 1990:41-62).

Dalam kaitanya retorika dengan ciri empirik, maka retorika sebagai ilmu juga berfungsi untuk menjelaskan berbagaia fenomena kegiatan berbahasa yang dapat diamati (Kerlinger, 1973:7). Dalam kaitannya dengan fungsi ini, Kerlinger (1973:7) menejlaskan bahwa penekanannya pada Rhe present state of knowledge and adding to it, on the extent of knowledge and on the present set a laws, theories, hypotheses, and principles. Penekanan semacam ini oleh Sax (1979:12) disebut theory construction. Adapun Kerlinger (1973:8) menyebutkan sebagai The basic aim of science is theory. Dalam penelitian ilmiah dapat di jelaskan bahwa A theory is set of principles, defenition, postulates and fact organized so as to explain the interrelationship among variable, (Sax, 1979:12) hakikat suatu teori  ternyata pada bagaimana prinsip, defenisi, postulat, dan fakta yang teroganisasi mampu menjelakan hubungan antar variabel. 

Berdasarkan pengertian tentang teori tersebut, makan terdapat tiga pemikiran (Kerlinger, 1973:9) yang dapat diterapakan terhadap Retorika. Perkembangan konsep retorika tampaknya tidak bisa terlepas dari konsepsi retorika ilmu, sebagai salah satu kebenaran ilmiah yang dapat diuji dan dibuktikan. Dan berbagai prinsip yang ada dalam retorika. Pertama, dapat dikatakan bahwa retorika adalah disiplin kemanusiaan yang didasarkan pada pilihan dan terutama  didesain untuk mempengaruji orang lain. Kedua, reorika adalah proses yang dinamis, yang berkembang dan terikat oleh budaya dengan berbagai disiplin secara ilmiah (Golden dkk, 1983:4). Sebagai ilmu yang tumbuh dan berkembang, “ilmu retorika mempunyai hubungan yang erat dengan dialektika yang sudah dikemabngkan sejak zaman Yunani kuno” (Hendrikus, 1991:15).

Dalam kaitannya dengan konsep retorika sebagai ilmu, maka akumulasi berbagai prinsip yang berkembang perlu dipetengahkan. Pengertian retorika dewasa ini telah mencakup semua pengertian yang pernah ada sebagai berikut:
a.    Prinsip-prinsip mengenai komposisi pidato yang persuasif dan efektif , maupun keterampilan yang harus dimiliki seorang orator (ahli pidato).
b.    Prinsip-prinsip mengenai mengenai prosa pada umumnya, baik yang dimaksudkan untuk penyajian lisan maupun untuk penyajian tertulis, entah yang bersifat fiktif atau yang bersifat ilmiah.
c.    Kumpulan ajaran teoritis mengenai seni komposisi verbal, baik prosa maupun puisi, beserta upaya-upaya yang digunakan dalam kedua jenis komposisi verbal tersebut.

Perkembangan retorika sebagai ilmu pada dasarnya telah mencakup semua prinsip: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Sebagai lapangan kajian yang dinamis, berbagai prinsip yang ada dalam retorika mungkin akan bergeser sesuai dengan kecenderungan secara ilmiah. Perkembangan bisa mengarah kepada perubahab objek, paradigma, metodologi, dan tujuannya.

1.Retorika dan Ilmu Bahasa

Sebelum sampai pada era retorika modern, pernah muncuk suatu anggpan dan mitos bahwa “rhetoric, it is argued, deal with ornamental language rather than with substantive ideas” (Golden, dkk, 1983:2). Anggapan semacam ini begitu diyakini abad pertengahan di Jerman sebagaimana dikemukakan oleh Erost Robert Curtius bahwa retorika diasosiasikan dengan bahasa yang berbunga-bunga, cita rasa verbal dan ungkapan yang bombastis saja (Golden, dkk, 1983:2; Syafie, 1988:3). Dalam sejarah perkembangan studi tutor dan bahasa pernah muncul suatu anggapan bahwa retorika adalah bagian dari tatabahasa (Oka dan Basuki, 1990:65). 

Pada umumnya orang beranggapan bahwa “Retorika adalah suatu istilah yang secara tradisional diberikan pada suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik (Keraf, 1983:1). Berkembangnya anggapan semacam ini menuntut perlunya perbedaan yang tegas antara retorika dengan ilmu bahasa atau tatabahasa. Kalau mau berbicara benar, retorika bukanlah bagian dari tatabahasa dan juga bukan alat dan tatabahasa (oka, 1976:74; Oka dan Basuki, 1990:66). Sebagai ilmu, keduanya secara prinsip bereda, baik materi kajian merupakan kaidahnya. Meskipun demikian karena keduanya berurusan dengan bahasa, maka batas kajiannya sering kali dikacaukan, sebagaimana pengertian retorika pada umumnya, maka terdapat “dua aspek yang perlu diketahui seseorang dalam retorika, yaitu pengetahuan mengenai objek tertentu yang akan disampaikan dengan bahasa tadi” (Keraf, 1985:1). Oleh sebab itu, “Retorika selalu menganjurkan penutur untuk memilih materi bahasa yang tepat, menatanya menjadi kalimat-kalimat yang retorika dan menampilkannya dengan gaya tutur yang meyakinkan” (Oka, 1976:75).

Adapun ilmu bahasa atau yang disebut dengan istilah lingiustik, sebagaimana dikemukakan oleh Lado bahwa “Linguistics is the science that describe and classifies languages”. Dalam pengertian ini dapat dijelaskan bahwa “Linguistic description are divided into phonology for the sound, morphology for the patterns and part of word, and syntax for pattern of phrases and sentence” (Lado, 1964:19). Meskipun demikian “Lingistik mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu-ilmu lain yang kadang-kadang meminjam data dan memasok data” (Saussure, 1988:70-71) oleh sebab itu, batas-batas yang memisahkan linguistik dari ilmu lain, misalnya terjadi pada kajian linguistik dengan sastra atau dengan retorika, Robins (1992:5;4) menjelaskan bahwa “sebagai kajian ilmiah tentang bahasa, linguistik harus mencakup semua aspek dan pemakaian bahasa dan semua gaya”. Meskipun demikian apa yang dikerjakan oleh para linguis adalah mengobservasi ujaran, mendeskripsi, mengkalsifikasikan dan menyajikan strukturnya secara lengkap, akurat dan seekonomis mungkin. Sebagaimana para ilmuwan yang lain, Lado (1964:19) menjelaskan bahwa “”linguists have evoleved their own scienticic procedures and technical terminology”. Oleh sebab itu, perbedaan linguistik dengan ilmu-ilmu yang lain termasuk dengan retorika terletak pada prosedur dan terminologi analisis, serta pada detail deskripsi sebagai unsur bahasanya.

Retorika sebagai ilmu yang bertujuan untuk mempersuasi pendengar atau pembaca tentu tidak berurusan secara berkecil-kecil dengan berbagai unsur yang dikaji dalam fonologi dan morfologi atau sintaksis dalam kaitannya dengan kaidah yang telah diberlakukan. Retorika akan berurusan dengan semua unsur bahasa dalam fungsinya sebagai unsur wacana. Perelman 91982:41) menjelaskan bahwa dalam sebuah wacana, semua unsur yang dirasakan oelh pembicara hanya dapat dijelaskan melalui bahasa yang harus dimengerti oleh pendengar/pembacanya. Kemudian jika kata-kata tidak bisa diandalkan untuk memahami pesan secara keseluruhan, maka kita harus melihat di luar kata-kata itu yakni dalam frasa, dalam konteks verbal atau nonverbal, pada apa yang dapat kita ketahui dari pembicara dan pendengarnya (Perelman, 1982:44). Cara kerja semacam ini hanya dilakukan dalam kajian Retorika dan tidak dilakukan dalam tatabahasa, unsur bahasa yang menajdi memang bisa saja sama, tetapi substansi dan terminologi teknis juga prosedurnya berbeda.

2.Retorik dan Ilmu-ilmu yang lain

Bertutur sebagai salah satu kegiatan yang fungsional dalam kehidupan manusia telah menjadi objek penelitian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada masa lampau kegiatan ini dipelajari oleh ilmu yang tergolong dalam kelompok ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, seperti misalnya Filsafat, Logika, Sosiologi, Antropoliti, Psikologi, Filologi. Ilmu sastra dan yang lainnya.

Dari berbagai cabang ilmu yang m,enggarap kegiatan bertutur dsan bahasa, ada beberapa diantaranya yang dekat sekali gejalanya den gan retorik. Cabang ilmu yan g dimaksud di sini ialah Logika, Tatabahasa dan sastra. Ketiga ilmu ini selain batas-batasnya sering dikaburkan dengan retorik.kerap  pula eksistensinyta dianggap sebagai induk retorik.

Retorik dan Logika

Dalam penemuan ulasan serta penggunaanya sebagai penopang gagasan, Retotik banyak sekali menyarankan agar penutur menggunakan kejernihan akal. Logika dan Retorik terdapat per5bedaan yang ensensial. Logika sebagai suatu ilmu pada dasarnya mengajarkan prinsip-prinsip dan metode-metode yang membuat orang mampu membedakan alasan-alasan yang benar dan sebaliknya. “The study of logic is the study of the methods and principles used in distinguisthing correct from incorrect reasining,” demikian kata Irving M. Copi dalam bukunya “Introduction to Logic” (1961:3). Memang logika tidak hanya berhenti pada tingkat penggambaran seperti yang dinyatakan M. Copi. Logika, lebih-lebih logika praktis, dalam prakteknya juga mengajarkan penggunaan alasan-alasan yang logis dalam proses berfikir, baik yang diungkapkan maupun yang tidak.

Retorik dan Tatabahasa

Dalam sejarahy perkembangan studi tutur dan bahasa pernah muncul suatu anggapan bahwa retorik adalah bagian dari tatabahasa. Anggapan ini tu8mbuh subur sdekitar abad XVIII, yaitu semasa orang memberikan penghargaan yang berlebih-lebihan kepada tatabahasa. Pada saat itu tatabahasa dipandang sebagai perangkat kaidah yang mengajarkan bagaimana berbahasa yang baik. Sebuah tutur dikatakan baik kalau bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah-kaidah yang digariskan oleh para tatabahasawan. Dengan demikian kalau ada bentuk tutur yang menyimpang dari kaidah itu, dianggap sebagai tutur yang jelek. Sejalan dengan anggapan ini, makla Retorik yang dipandangnya sebagai penutur bertutur tidak lain adalah bagian dari Tatabahasa, yang sekaligus juga merupakan alat penyebarluasan kaidah-kaidahnya.

Keadaan seperti yang terurai di atas tidak saja berlangsungf di abad XVIII, tetapi sampai abad XX inipun sementara ahli Bahasa yang disebut golongan “purist” masih mempertahankannya. Gejalanya tampak dalam pengajaran bahasa indonesia terutama karang-mengarang. Dimana para guru dalam menilai sebuah karangan sering mengabaikan aspek restoris, dan sebaliknya mereka cenderung mempertahannkan penyimpangan-penyimpangan dari kaidah yang dibuat.

Demikianlah salah satu kecenderungan perkembangan dalam pengajaran bahasa yang antara lain membuat retorik kehilangan posisi dan fungsinya yang wajar. Kalaupun ia dikatakan masih berpungsi maka satu-satunya fungsi yang dimiliki adalah menyebarluaskan kaidah-kaidah yang  ada dalam tatabahasa. Tentunya yang demikian ini bukan fungsi utama Retorik, Seperti telah diketahui bersama dari uraian terdahulu. Dalam pembinaan kemampuan bertutur, tatabahasa dan Retorik harus diterapkan dalam imbangan yang harmonis. Jangan sampai ada salah satu diantaranya yang dikorbankan untuk menggelamkan yang lain. Setiap penutur menguasai dan menggunakan kaidah-kaidah umum dari bahasa yang dipakainya, untuk kemudian memberikan warna retoris yang bersifat perseorangan pada kaidah-kaidah umum ityu. Jangan sampai penutur menggunakan kaidah-kaidah pribadi dalam tuturannya.

Kesimpulan bahwa retorik dan tatabahasa adalah dua ilmu yang memiliki otonomi sendiri-sendiri namun demikian antara masing-masingnya tidak bias dipisah-pisakan karena keterkaitannya yang dekat. Selain dengan logika, Ilmu Sastra dan Tatabahasa Retorik juga berhubungan erat dengan ilmi-ilmu lainnya lebih-lebih dengan ilmu-ilmu sosial dan kemnusiaan. Sebagai ilmu yang berbicaratentang manusia dengan kegiatan bertuturnya. Retorik banyak sekali memerlukan bantuan dari filsafat Ilmu jiwa Biologi, Sosiologi, Antropologi, Fisikologi, Linguistik dan yang lainnya.Sebagai contoh misalnya I.A Richards pakar ini dalam mengungkapkan teori Retorikanya banyak sekali menerapkan hasil-hasil penemuan  Psikologi  dan Biologi modern.

Dalam penampilan jenis tutur pengarahan misalnya Aristoteles mengharapkan agar penutur memiliki pengetahuan yang baik tentang situasi politik yang sedang berlangsung kondisi sosial ekonomi petutur corak ragam bahasa penutur. Dikatakan demikian karena ilmu yang terakhir inilah yang mengajarkankebenaran serta membimbing orang bertindak dan mengambil keputusan yang berdasarkan kebenaran.

Retorik memerlukan bantuan filsafat dalam rangka memahami manusia secara lebih baik, memilih kemungkinan yang paling benar dari sejumlah kemungkinan yang ada dan menemukan ulsan-ulasan yang benar. Sedangkan sebaliknya, filsafat sangat memerlukan retorik jika ia membeberkan penemuan-penemuan kebenarannya. Tanpa bantuan retorik, kebenaran-kebenaran filsafat itu tidak akan meyakinkan pihak lain. Dan sebagai seotang negarawan yang banyak berlibat dengan retori dalam pidato-pidatonya.

Dari berbagai ilmu yang tampaknya intensif diintegrasikan ke dalam Retorik, salah satu di antaranya yang banyak dikaji adalah Psikologi. Penemuan-penemuan dalam ilmu ini dimanfaatkan oleh Retorik untuk memahami jiwa manusia dalam kaitannya dengan kegiatan bertuturnya. Tiga aliran sangat dominan pengaruhnya terhadap Retorik adalah (1) Ilmu jiwa tingkah laku yang dipelopori Pavlov; (2) Ilmu jiwa dalam yang di rintis oleh Sigmund Freud; dan (3) Ilmu jiwa yang dikembangkan oleh C. Rogers yang menerangkan bahwa tingkah laku manusia dimotivasi oleh imajinasi dari dan sesuatu yang diidealkannya. Sebenarnya, banyak sekali jenis ilmu yang duperluksn bantuanya oleh Retorik. Maka secara umum dapat dikatakan bahwa kehadiran Retorik sebagai ilmu-ilmu, tidak terlepas hubunganya dengan ilmu-ilmu yang lain.

Kritik Sastra

Ekspresif Chairil Anwar

Dalam Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”

oleh

Novi Daniyati

Novidaniyati22@gmail.com


Secara harfiah kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk member pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan melalui pemahaman dan penafsiran yang sistemik. Berdasarkan tujuannya karya sastra bertujuan untuk menimbang, menerangkan, membuat aturan, menginterpretasikan, memberi putusan, dan menemukan asas seni yang baik. Dalam kritik sastra juga terdapat  aspek-aspek pokok, yakni:
1.    Analisis
2.    Interpretasi
3.    Evaluasi
Kritik sastra memiliki beberapa jenis, yakni:
1.    Berdasarkan pendekatanya,
a.    Kritik sastra penilaian
-kritik sastra ilmiah
-kritik sastra estetis
2.    Berdasarkan pendekatan terhadap karya sastranya
a.    Kritik mimetik
b.    Kritik pragmatik
c.    Kritik ekspresif
d.    Kritik objektif
3.    Berdasrkan bentuknya
a.    Kritik relatif
b.    Kritik absolute
Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode berdasrkan pendekatan terhadap karya sastranya dengan menggunakan metode ekspresif. Pendekatan ekspresif, yaitu kritik sastra yang menekankan telaahan kepada kebolehan pengarang dalam mengekpresikan atau mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra (umumnya puisi). Dalam hal ini kritik sastra cenderung menimbang karya sastra dengan memperlihatkan kemampuan pencurahan, kesejatian, atau visi penyair yang secara sadar atau tidak tercermin pada karyanya tersebut. (Semi, 7-8:2013).

Senja Di Pelabuhan Kecil
Chairil Anwar

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali, kapal, perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau terpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepek elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini, tanah, air, tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

(1946)


Chairil anwar adalah seorang sastrawan muda angkatan 45, yang terkenal dengan julukan Si binatang jalang. Julukan tersebut muncil bukan tanpa sebab melainkan buah dari satu karyanya yang berjudul “Aku”. Chairil merupakan sosok sastrawan yang dalam karyanya selalu mencerminkan sifat individualism yang sangat kental, karya-karyanya pun banyak yang bernuansa pemberontakan-pemberontkan baik itu terhadap sosial, politik, bahkan keadaan dirinya sendiri. Adapun beberapa karyanya yang berhubungan dengan Tuhan seperti puisis yang berjudul “Doa”. Dalam kritik sastra ini penulis memilih salah satu puisi darinya yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”.

Dalam puisinya yang berjudul senja dipelabuhan kecil yang menceritakan tentang seseorang yang merasa bahwa cinta, dan yang dicintainya sudah tidak ada lagi. Dalam puisinya penyair melukiskan rasa kesepiannya dengan mengambarkan lewat gedung, rumah tua, cerita tiang dan temali, kapal, dan perahu yang tidak berlaut, tertaut. Benda-benda itu semua mengungkapkan perasaan sedih dan sepi. Penyair merasa bahwa benda-benda di pelabuhan itu mengabaikanya, menghembus diri dalam mempercaya mau terpaut. Kata terpaut ini memiliki arti terikat (Yufid KBBI).  Dalam bait pertama itu dapat dirasakan bahwa penulis merasakan kesepian yang teramat dalam dapat dilihat pada bait berikut,

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali, kapal, perahu tiada berlaut
(tidak mempunyai arah tujuan)
Menghembus diri dalam mempercaya mau terpaut
(tapi masih memiliki kepercayaan untuk memiliki)


Pada bait kedua dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”, penyair mulai merasakan suasana pelabuhan tidak lagi terfokus terhadap benda-benda yang ada di sekitar pelabuhan. Seperti pada larik berikut, “gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang”. Ketika di pelabuhan itu turun gerimis yang menambah kesedihan penyair, dan ada kelepak elang yang membuat hati penyair lebih muram, Pada larik selanjutnya. “Menemu bujuk pangkal akanan” yang menunjukan bahwa penyair berpikiran bahwa ia akan menemukan sesuatu yang dapat menghibur hatinya yang sedang merasa sepi, tapi ternyata suasana pantai itu kemudian berubah. Harapan itu hilang, seperti pada bait berikut “tidak bergerak dan kini, tanah, air, tidur hilang ombak”.

Pada bait ketiga dalam puisi tersebut, penyair lebih memusatkan pikiranya pada dirinya. Dia merasa kesepian seperti pada larik berikut “aku sendiri”. Dalam kesendirian itu, penyair mencoba menyisir semenanjung dengan dipenuhi harapan, seperti pada larik, “Menyisir semenanjung, masih pengap harap”. Namun setibanya di ujung pantai dan memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut karena ia tidak menemukan tujuannya dan memutuskan untuk melupakan semuanya dan berharap bahwa kesedihanya cepet hilang. Seperti pada larik berikut “Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan” “dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap”.

Berdasarkan analisis puisi tersebut  jika dikaji berdasarkan metode ekspresif, dapat dilihat bahwa si pengarang mencoba mencurahkan apa yang sedang dialami oleh dirinya yang sedang merasa kesepian, dan merasa kalau orang-orang disekelilingnya su
dah mengabaikannya. Tapi walapun penyair sedang berada pada situasi yang merasa bahwa dirinya sudah ditinggalkan, tapi walapun dalam posisi tersebut penyair tetap mencoba untuk menemukan kembali cintanya walaupun pada akhirnya tetap tidak bisa didapatkan. 

Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” dari segi kebahasaanya menggunakan bahasa yang sulit dipahami sehingga pembaca harus mengkaji makna dari setiap kata yang Chairil tulis dalam puisi tersebut untuk kemudian memahami isi dari puisi tersebut tapi ketika pembaca sudah memahami isi dari puisi maka pemabaca juga bisa merasakan apa yang sedang di alami Chairil pada saat itu. Puisi tersebut layak dibaca oleh semua kalangan.

Retorika

Retorika Sebagai Ilmu Kamus Besar Bahasa indonesia menyebutkan bahwa retorika dalam arti sempit diartikan sebagai, (1) studi tentang pema...